Adakah yang menyimpan nomor telepon presiden Indonesia? Adakah
yang menyimpan surat cinta untuknya namun tak kunjung mengirim karena takut
dipenjara? Adakah yang masih mengira ini zaman menakutkan? Ada. Saya. Mahasiswa
Pendidikan Bahasa Inggris semester akhir yang sedang duduk ternganga menonton
siaran berita; pemerintah pusat akan menghapus kewajiban berbahasa Indonesia
bagi tenaga kerja asing dengan alasan dapat mengganggu iklim investasi di
Indonesia.
Sungguh itu bukan alasan yang logis, mengingat upaya para
pemikir negara yang sempat mencetuskan untuk menasionalkan Bumi Pertiwi. Potong
segala akses luar negeri dalam penjamahan sumber daya Indonesia. Serahkan
segalanya pada masyarakat pribumi.
Belum puaskah ia belajar dari ibunya—dengan gincu yang merona
di ujung moncongnya—bagaimana cara menjual negaranya sendiri dengan adil dan
makmur (bagi golongannya)? Masih kurangkah kesengsaraan masyarakat Indonesia
hingga 70 merdeka ini? Atau ia takut hasil belajar bahasa asingnya sia-sia
karena seluruh tenaga kerja asing telah fasih berbahasa Indonesia? Konyol.
Miris.
Hal ini sontak membuat otak saya mendidih. Belum lama ini,
mungkin satu bulan yang lalu, saya dan kawan-kawan Pena Kampus mendiskusikan
sebuah opini yang ditulis oleh seorang pakar bahasa—yang saya lupa siapa
namanya—tentang kecenderungan masyarakat urban di ibu kota yang bangga
mendengar anaknya fasih berbahasa Inggris di keseharian mereka. Bahkan mereka
mengaku bahwa bahasa Indonesia kini tidak perlu ditekankan sebagai bahasa
pertama karena kita akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). “Bagaimana
mungkin kami mampu bertahan dengan generasi yang tak pandai matematika dan
bahasa Inggris?” penggal kalimat dalam opini tersebut (seingat saya).
Lah, apa salah MEA
sehingga dijadikan tameng ambisi orangtua dalam menjejali anak-anaknya dengan
bahasa orang asing? Sedang nutrisi bahasa sendiri tidak diberikan. Serupa si
anak dicekoki susu formula tanpa tahu bagaimana nikmatnya air susu ibunya
sendiri. Tenanglah, ini sekedar celotehan otak saya yang masih tidak habis
pikir tentang kebijakan tersebut. begitu banyak ketimpangan yang terjadi, tidak
sedikit kenyataan yang paradoks. Mengapa memilih kebijakan demikian?
Memberi ruang selebar mungkin kepada investor diharapkan
mampu membantu negara dalam menggarap sumber daya alam. Alasannya, karena kita
ini belum punya alat yang memadai seperti para investor yang negaranya
(katanya) kaya-raya (padahal juga punya hutang berlimpah). Alasannya, karena
sumber daya manusia kita masih belum ahli. Padahal di perusahaan asing, bahkan
sampai iklan-iklannya di televisi pun, memperlihatkan bagaimana tangguhnya
pekerja Indonesia yang ada di kantor mereka. maka pertanyaannya, jika mereka
mampu, kenapa harus datangkan orang asing?
Masalah modal? Saya yakin Indonesia tidak kekurangan uang.
Apalagi kekurangan sapi sampai harus impor. Maaf, ini hanya celotehan saya.
Sekali lagi, celotehan seorang (calon) warga sipil yang awam akan pengetahuan
ekonomi dan kenegaraan. Tapi jika orang seperti saya saja berpikiran seperti
ini, bagaimana dengan inaq-inaq atau amaq-amaq yang kalau ditempatkan di piramida
makanan, mereka bisa jadi adalah pengurai sekaligus produsen. Demokrasi
kocar-kacir.
“Uang”, di Indonesia, adalah sebuah benda yang menjadi petaka
ketika disandingkan dengan kata “hutang”. Namun menjadi sebuah anugerah ketika
ditempelkan dengan kata “gaji”. Terlepas dari itu, uang di Indonesia sebenarnya
tidaklah kurang; dengan catatan, mereka berputar! Bukan berputar seperti
dzikirnya orang-orang Turki, namun berputar dari masyarakat satu ke masyarakat
lainnya melalui transaksi ekonomi. Sehingga ia akan seperti air yang mengalir
ke sudut-sudut serupa sistem irigasi di sawah.
Akan tetapi, kenyataannya, uang sekarang banyak terbendung di
rumah-rumah dinas yang sangat mewah. Mereka membangun bendungan dengan susah
payah sehingga sulit untuk berbagi ketika air (baca: uang) mengucur ke
bendungan tersebut. Setiap tahun umat muslim di Indonesia membayar zakat tak
kurang dari Rp.20.000,-/orang. Dengan mayoritas pemeluk agama Islam, rasanya
agak keterlaluan konyolnya jika di hari lebaran masih saja ada masyarakat yang
kelaparan dan duduk bersama keluarga dengan keadaan kompor dingin. Sedingin
hati yang tersembunyi dibalik kata “Menyucikan diri.” Maka artinya uang di
Indonesia tidak berputar sesuai dengan kodratnya. Ups, ini hanya pemikiran bodoh saya, loh. Dan hal ini berlaku juga untuk sapi-sapi di Indonesia. Hai
sapi-sapi! Masih betah bersembunyi? Tidakkah kalian bosan terus-terusan
dianaktirikan? Mereka lebih menyukai daging impor!
Baiklah, saya sepertinya terlalu berhalusinasi dan ngelantur kesana-kemari. Kembali ke
pokok bahasan: bahasa. Hal sederhana
yang tercuat di kepala saya adalah bagaimana bisa Indonesia yang rajin
berkunjung ke negara-negara antar benua untuk studi banding ini tidak belajar
dari negara yang dikunjungi? Hei,
kita adalah negara terbesar dan tercantik sumber daya alamnya di lingkup ASEAN!
Kenapa harus menundukkan kepala di depan mereka yang sebenarnya mengemis uang
di negara kita? Mereka rela mempelajari bahasa kita demi mengeruk harta yang
kita punya. Saya yakin si presiden sadar akan hal ini, tapi mengapa? Mengapa,
pak?
Pun, agak ketulenan
konyolnya ketika ini menjadi suatu kebanggaan bagi sebagian orang. Saya
berkali-kali bertemu warga asing yang datang ke Lombok yang belajar bahasa
Indonesia untuk kepentingan penelitian. Mereka legowo untuk belajar demi sebuah tujuan. Lantas mengapa kita harus
“mengalah”? Kalau tidak salah ingat, saya pernah membaca berita bahwa Indonesia
akan menjadi bahasa resmi dalam MEA. Nah,
kemana itu? Bahkan Thailand dan Myanmar telah menobatkan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa kedua demi MEA. Mengapa kita harus tunduk?!
Entah, mungkin ini hanya ketakutan saya yang berlebihan.
Biarlah. Saya takut bangsa Indonesia lambat laun akan kehilangan jati dirinya
atas kebijakan ini. Masyarakat tidak lagi bangga berbahasa Indonesia, tidak
lagi mau memperkenalkan budaya asli Indonesia—dan hanya akan mengamuk brutal
marah-marah saar budaya itu diterapkan oleh Malaysia. Sebuah kenyataan ironi.
Seperti meludah ke atas. Sekarang, apa yang diinginkan bangsa ini setelah
menyepakati penjajahan modern macam itu?
Apa lagi yang harus dibanggakan? Saya jadi ingin bunuh diri sekarang saja; karena
sebagai guru Bahasa Inggris yang bercita-cita mengajar BIPA (Bahasa Indonesia
untuk Penutur Asing), saya merasa akan dibunuh pada 2016 mendatang dengan
pedang berlabel MEA. Salam.