Crik! Lembar terakhir
telah siap cetak dalam ruang ujian. Tentu hanya di mataku. Semoga berhasil. Untuk
kali ini, saja, Tuhan, izinkan aku mencurangi dosen ini. Ia cukup baik dalam
kuliahnya. Hanya saja mungkin aku kurang tertarik belajar dengan hafalan
copy-paste seinginnya dia. Hingga jariku mengetik tulisan ini, aku akan
ceritakan bagaimana seumur hidupku, telah kutemukan diriku seorang penakut! Padahal
tinggal membuka file Gallery dalam HP dan nilai akan sempurna. Dalam Mid-term Test dengan alokasi waktu enam puluh
menit.
Untuk hari ini, pukul sembilan lebih lima belas
menit, ringan telapak sepatuku memasuki ruangan berkapasitas tiga puluh orang. Yang
nyatanya dijejal dengan empat puluh delapan orang tanpa AC. Kuubah kebiasaanku
dengan duduk di barisan belakang, demi meluncurkan niat pagiku yang buta.
Mulai duduk menunggu dosen dengan soal ujiannya,
kumuntahkan isi tas dengan rapi. Berjejer hand-book mata kuliah yang kududuki
ini dengan sebuah novel milik Lang Fang.
Oh, Tuhan, sumpah demi pepohonan di luar sana, aku lebih memilih melahap isi otak Tuan Fang ketimbang
kertas sok penting ini.
Begitu juga kuingat foto-foto lebaran hand-book yang
telah kupotret, menjadikan aku seorang pelajar yang tega membungkam kembali tas
dengan hand-book itu di dalamnya. Tenang saja, ada file foto. Maka kuhabiskan waktu
menunggu laki-laki paruh baya itu dengan membaca Ciuman di bawah Hujan.
Akhirnya ia datang tepat di lembar kesepuluh
bacaanku. Teman-teman sibuk menata bangku sambil berbisik-bisik. Nanti bagi jawaban, ya! Nanti jangan pelit! Nanti..
nanti.. nanti. Tak ada kata nanti untuk lembar soal dan jawaban. Soal berisi
empat butir dan empat telur pecahan.
Mulailah kususur kata perkata isi soal tersebut. Tuhan,
soal macam apa ini? Sama sekali tidak ada dalam file potretku. Asal kalian
tahu, ini rahasia! Beberapa kakak tingkatku berkata bahwa bahan ujian yang
sering dosen ini keluarkan adalah yang berasal dari otaknya. Jadi sudah pasti
apa yang dia katakan. Kucatat tiap perkataannya. Atau mungkin lebih tepatnya,
aku meminjam catatan teman. Maklumlah, tulisanku buruk, tak mampu dibaca dalam
keadaan normal. Apalagi mencatat cepat.
Jadi kurasa tamatlah sudah ujianku kali ini. Waktu yang
diberikan hanya enam puluh menit. Sixty minutes, kata dosenku. Melihat soal-soal
ini, mataku merasa bersalah. Terlebih tanganku yang telah tega terbujuk setan
dengan memotret hand-book pagi tadi.
Lelah melihat tulisan yang kuanggap asing. Otakku mulai
membuka pintu dari batok di bawah rambutku. Menyusur di balik kerudung, lalu
menyisir tiap jari teman-temanku yang sok tekun mengerjakan soal. Dengan wajah
empat puluh lima derajat, mata kanan pura-pura membaca soal, mata kiri menjorok
ke layar BB, i-pad, dan benda canggih lainnya.
Bolehkah aku menyesal lagi? Kali ini aku menyesal
duduk di baris belakang. Entahlah, mungkin ini sebabnya aku nyaman duduk di
barisan depan. Supaya dikira memiliki jiwa pemimpin, juga aman dari tuduhan
menyontek. Nah, menyontek! Benar-benar kapoklah aku duduk di bangku pojok ini. Ternyata
tanganku pandai menebus dosa. Sengaja ia rutunkan suhunya hingga beku hingga
malas bertemu HP. Apalagi membuka potret
dalam Gallery milikku.
Kaki detik masih terus berlari. Putaran masih banyak
jumlahnya. Sebaiknya aku mengaku dosa. Jika dalam hidup kita mendapat ujian
sebelum belajar darinya, maka lain halnya dengan sekolah. Pengajar tentu memberi
pelajaran terlebih dahulu sebelum akhirnya menguji dengan soal-soal seperti
ini. Maka aku dengan licik, sedikit ingin membela diri.
Boleh juga aku anggap ini perjalanan hidup. Bukan perjalanan
sekolah. Toh, akhirnya juga sekolah
dijalani dalam hidup, kan? Aku akan belajar sekeluarnya kaki dari ruangan ini. Akan
kubujuk hand-book dalam mulut tasku untuk menjelaskan apa maksud soal-soal ini.
Tidakkah ini cukup menyesal rasanya? Oo, sudahlah, jangan membela diri terlalu
jauh.
Kaki detik masih harus berputar sepuluh kali lagi. Masih
harus berdetik enam ratus kali lagi. Lembar jawabanku bersih. Hanya ada promosi
identitas. Lalu apa yang aku dapat? Sudah kubilang, kan, aku mengaku dosa. Aku mengakui
kepengecutan diriku dalam mencontek. Kujilat niat burukku yang ingin mencoba
kursi di barisan belakang.
Semakin sedikit putaran kaki detik. Ia berlari
dengan rutin. Tik, tik, tik, seperti
sintaks suara hujan. Telah kudapati jawaban. Namun bukanlah jawaban soal ujian
ini yang ada di otakku. Hasil susurku bukanlah fakta bahwa teman-temanku
kehilangkan kepercayaan dirinya dalam menjawab soal. Sehingga harus mengemis
jawaban dari bangku kiri, kanan, depan, dan belakang.
Jawaban yang hanya aku pemilik soalnya. Sekolah
memang bagian dari hidup. Namun cara menghadapinya tentu berbeda. Seperti Lexical Entailment dalam Semantics siang tadi. Maka, hasil dari
ujian ini adalah: aku telah mengenal diriku lebih dalam. Aku akan tetap duduk di barisan
terdepan, karena aku memang seorang pemimpin, setidaknya bagi diriku sendiri. Jangan
pernah tumbuhkan niat mencontek karena itu bukan sikap seorang pemimpin.
“Okay, time is over. Hand in!” seru dosenku. shit! ops, astagfirullah….